Medan — Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Putra-Putri Keluarga Angkatan Darat ’63 (HIPAKAD 63) Sumatera Utara menyampaikan kritik keras terkait lemahnya implementasi program GEMAPATAS (Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas) di daerah. Ia menilai, selama program tersebut tidak dijalankan secara serius oleh jajaran Kementerian ATR/BPN di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, praktik penyimpangan agraria di daerah akan semakin marak.
Menurut Ketua HIPAKAD 63 Sumut, kondisi tersebut membuka ruang terjadinya tindakan yang merugikan daerah dan rakyat, seperti pemaksaan izin tambang dan perkebunan, penyerobotan lahan, hingga konflik agraria yang berujung intimidasi.
“Selama batas tanah negara dan tanah rakyat tidak ditetapkan secara tegas, maka perampokan dan pemerasan terhadap sumber daya alam serta tanah rakyat akan terus terjadi. Ini bukan sekadar kekhawatiran, tetapi temuan lapangan,” tegasnya.
Temuan HIPAKAD 63 Sumut
Berdasarkan investigasi organisasi ini di wilayah Deli Serdang, Binjai, dan Langkat, terdapat sejumlah dugaan kuat mengenai:
Pembiaran penggunaan sertifikat HGU cacat administrasi untuk menguasai tanah rakyat.
Penolakan dan penghambatan penetapan batas tanah meskipun rakyat memiliki alas hak sah.
Praktik pemerasan terhadap masyarakat yang meminta kejelasan batas lahan, melalui dalih administratif seperti pelepasan aset atau dana nominatif.
Kolaborasi oknum pemerintah dengan korporasi besar dalam operasi penguasaan tanah sawah, ladang, dan pemukiman rakyat.
HIPAKAD 63 menilai bahwa sebagian permasalahan disebabkan oleh masih kaburnya batas kepemilikan tanah, serta tidak transparannya pengelolaan aset negara oleh instansi terkait, termasuk PTPN dan kantor pertanahan.
Akibat Buruk Jika GEMAPATAS Tidak Dijalankan
Dalam pernyataannya, Ketua HIPAKAD 63 menegaskan bahwa keterlambatan implementasi program pemasangan tanda batas tanah akan:
Memperbesar potensi konflik antara rakyat dengan perusahaan maupun pemerintah.
Menghambat kepastian hukum, investasi yang bersih, serta transparansi tata kelola lahan.
Menambah deretan sengketa agraria di Sumatera Utara.
“Rakyat masih menjadi objek penindasan oleh oknum yang menyalahgunakan kewenangan. Tanah adalah sumber hidup masyarakat. Jika negara tidak hadir menegakkan keadilan agraria, maka rakyat seperti masih dijajah di negeri sendiri,” ujarnya.
Siap Tempuh Jalur Hukum
HIPAKAD 63 Sumut menegaskan akan membawa temuan tersebut kepada aparat penegak hukum:
“Jika GEMAPATAS tak segera direalisasikan di Sumut—khususnya Deli Serdang, Binjai, dan Langkat—kami akan menyerahkan seluruh data dan kasus kepada Kejati Sumut serta Kejaksaan Agung. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah.”
Organisasi ini juga mengajak masyarakat yang menjadi korban sengketa agraria untuk melapor dan bersama memperjuangkan legalitas hak atas tanah sesuai undang-undang.
( TIM)







