Medan, 13 November 2025
Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris, di mana sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup dari bertani, berkebun, dan beternak. Petani adalah ujung tombak ketahanan pangan nasional, penopang kehidupan masyarakat perkotaan, dan penjaga keberlangsungan bangsa. Namun ironisnya, di tengah gelar tersebut, nasib para petani justru kerap terpinggirkan, bahkan menjadi korban penindasan di tanah sendiri.
“Tanpa petani, negeri ini akan menghadapi kelaparan massal. Tapi kini petani justru seakan diletakkan pada posisi paling rendah, seolah profesi hina yang tidak lagi digemari generasi muda,” ujar Ketua Hipakad 63 Sumatera Utara dalam pernyataannya di Medan.
Ia menyoroti banyaknya kasus penggusuran lahan rakyat di sejumlah daerah di Sumatera Utara seperti Deli Serdang, Binjai, dan Langkat, yang dilakukan dengan menggunakan sertifikat HGU cacat administrasi atau aspal (asli tapi palsu).
Beberapa contoh kasus yang menonjol antara lain:
HGU No. 152 di Kecamatan Percut Sei Tuan,
HGU No. 103 di Desa Bulu Cina, Kecamatan Hamparan Perak,
HGU No. 109 di Desa Mulio Rejo, Kecamatan Sunggal.
“Ini bentuk kejahatan agraria yang keji dan tidak berperikemanusiaan, bukan hanya merugikan rakyat kecil, tapi juga merugikan negara karena menghilangkan potensi pemasukan keuangan negara,” tegasnya.
Tiga Tuntutan Utama Hipakad 63 Sumut
Pemerintah Daerah Bertindak Adil
Gubernur Sumatera Utara serta para Bupati/Wali Kota di Deli Serdang, Binjai, Langkat, dan daerah lain diminta melindungi rakyat kecil dan petani, bukan malah membiarkan mereka menjadi korban penindasan perusahaan perkebunan.Presiden dan Menteri ATR/BPN Harus Tegas
Hipakad 63 mendesak Presiden Prabowo Subianto, Menteri ATR/BPN, serta jajaran Kakanwil Pertanahan Sumut dan Kakan Pertanahan Kab/Kota untuk segera mengawasi dan mengontrol penggunaan tanah negara oleh perusahaan swasta maupun BUMN (PTPN).
Termasuk menghentikan praktik penggunaan tanah negara tanpa setoran ke kas negara, atau modus kerja sama operasional (KSO) yang merugikan rakyat dan negara.Transparansi Batas Tanah dan Penegakan Hukum Agraria
Kakanwil dan Kakan Pertanahan di Sumut diminta tidak menutup-nutupi data serta membuka akses informasi batas tanah antara rakyat dan perusahaan. Mereka juga diminta tidak memproses permohonan HGU dari perusahaan yang sebelumnya menggunakan kekerasan untuk merebut tanah dari warga.
Dasar Hukum yang Diabaikan
Hipakad 63 menegaskan, semua tindakan harus mengacu pada PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, terutama:
Pasal 2 (asas sederhana, terjangkau, dan terbuka),
Pasal 17 dan 18 (pengukuran dan penetapan batas harus melibatkan pihak berbatasan).
Selain itu, Permeneg Agraria Nomor 3 Tahun 1997 juga menegaskan agar setiap data fisik dan yuridis harus sah, akurat, dan tidak dimanipulasi. Pemerintah daerah pun berhak mendapatkan akses informasi pendaftaran tanah (Pasal 181 dan 191) demi melindungi rakyat dari konflik agraria.
Harapan untuk Keadilan Agraria
“Jika hukum agraria dijalankan secara benar, maka takkan ada lagi praktik penggunaan sertifikat HGU aspal seperti HGU 109 di Desa Mulio Rejo dan HGU 103 di Bulu Cina. Keadilan dan kesejahteraan rakyat pasti dapat tercapai,” pungkas Ketua Hipakad 63 Sumut.
🟢 Kontak Pers:
HIPAKAD 63 Sumatera Utara
Medan – Sumatera Utara
(TIM)







